A.
Pengertian
Air Lindi
Air lindi didefinisikan sebagai suatu
cairan yang dihasilkan dari pemaparan air hujan pada timbunan sampah. Dalam
kehidupan sehari-hari air lindi ini dapat dianalogikan seperti seduhan air teh.
Air lindi membawa materi tersuspensi dan terlarut yang merupakan produk
degradasi sampah. Komposisi air lindi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
jenis sampah terdeposit, jumlah curah hujan di daerah TPA dan kondisi spesifik
tempat pembuangan tersebut. Air lindi pada umumnya mengandung senyawa-senyawa
organik (Hidrokarbon, Asam Humat, Sulfat, Tanat dan Galat) dan anorganik
(Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium, Khlor, Sulfat, Fosfat, Fenol, Nitrogen
dan senyawa logam berat) yang tinggi. Konsentrasi dari komponen-komponen
tersebut dalam air lindi bisa mencapai 1000 sampai 5000 kali lebih tinggi dari
pada konsentrasi dalam air tanah (Maramis, 2008).
Cairan pekat dari TPA yang berbahaya
terhadap lingkungan dikenal dengan istlah leacheat atau air lindi. Cairan ini
berasal dari proses perkolasi/percampuran (umumnya dari air hujan yang masuk
kedalam tumpukan sampah), sehingga bahan-bahan terlarut dari sampah akan
terekstraksi atau berbaur. Cairan ini harus diolah dari suatu unit pengolahan
aerobik atau anaerobik sebelum dibuang ke lingkungan. Tingginya kadar COD dan
ammonia pada air lindi (bisa mencapai ribuan mg/L), sehingga pengolahan air
lindi tidak boleh dilakukan sembarangan (Machdar, I, 2008).
Menurut Soemirat, (1996), Leachate
adalah larutan yang terjadi akibat bercampurnya air limpasan hujan (baik
melalui proses infiltrasi maupun proses perkolasi) dengan sampah yang telah
membusuk dan mengandung zat tersuspensi yang sangat halus serta mikroba
patogen. Leachate dapat menyebabkan kontaminasi yang potensial baik bagi air
permukaan maupun air tanah. Hal ini diakibatkan karena kandungan BOD yang
tinggi yaitu sekitar 3.500 mg/L.
1)
Sampah
Sebagai Sumber Air Lindi
Timbunan
sampah yang berasal dari sampah domestik dapat mengganggu/ mencemari karena :
lindi (air sampah), bau dan estetika. Timbunan sampah juga menutupi permukaan
tanah sehingga tanah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Selain itu, timbunan sampah
dapat menghasilkan gas Nitrogen dan Asam Sulfida, adanya zat Mercury, Chrom dan
Arsen pada timbunan sampah dapat menimbulkan gangguan terhadap bio tanah,
tumbuhan, merusak struktur permukaan dan tekstur permukaan tanah menjadi racun
(Pustekom, 2005).
Selayaknya
benda cair, air lindi ini akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Air lindi
dapat merembes ke dalam dan bercampur dengan air tanah, ataupun mengalir di
permukaan tanah dan bermuara pada aliran air sungai. Bisa dibayangkan, air
lindi yang mengandung senyawa-senyawa organik dan anorganik dengan konsenterasi
sekitar 5000 kali lebih tinggi dari pada dalam air tanah, masuk dan mencemari
tanah atau air sungai.
2)
Karakteristik
Air Lindi
Air
lindi dapat digolongkan sebagai senyawa yang sulit didegradasi, yang mengandung
bahan-bahan polimer (makro molekul) dan bahan organik sintetik (Suprihatin 2002
in Sulinda, 2004). Pada umumnya air lindi memiliki nilai rasio BOD5/COD sangat
rendah (<0,4). Nilai rasio yang sangat rendah ini mengindikasikan bahwa
bahan organik yang terdapat dalam air lindi bersifat sulit untuk didegradasi
secara biologis. Angka perbandingan yang semakin rendah mengindikasikan bahan
organik yang sulit terurai tinggi (Alaerts dan Santika, 1984).
Komposisi
air lindi sangat bervariasi karena proses pembentukannya dipengaruhi oleh
karakteristik sampah (organik-anorganik), mudah tidaknya penguraian (larut
-tidak larut), kondisi tumpukan sampah (suhu, pH, kelembaban, umur),
karakteristik sumber air (kuantitas dan kualitas air yang dipengaruhi iklim dan
hidrogeologi), komposisi tanah penutup, ketersediaan nutrien dan mikroba, dan
kehadiran in hibitor (Diana, 1992). Selain itu Sulinda (2004) menyatakan bahwa
proses penguraian bahan organik menjadi komponen yang lebih sederhana oleh
mikroorganisme aerobik dan anaerobik pada lokasi pembuangan sampah dapat
menjadi penyebab terbentuknya gas dan air lindi.
Sebagian
besar limbah yang dibuang pada lokasi pembuangan sampah adalah padatan. Limbah
tersebut berasal dari berbagai sumber yang berbeda dengan tipe limbah yang
berbeda pula, sehingga setiap air lindi memiliki karakteristik tertentu
(Pohland da n Harper, 1985).
Tabel 2.1.
Kategori sumber dan tipe limbah
Kategori Sumber Limbah
|
Tipe Limbah Utama
|
Perumahan
|
Produk
kertas , plastik, gelas, abu, limbah makanan
|
Pertanian
|
Limbah hasil panen, limbah makanan,
sampah, kimia
|
Komersial
Kota
|
Produk kertas, limba h makan,
rongsokan, reruntuhan konstruksi, abu
Produk kertas, abu, limbah makanan,
sludge selokan
|
Industri
|
Sludge biologis dan kimia (lumpur
biologis hasil pengolahan limbah), produk kertas, abu, reruntuhan konstruksi
|
Sumber
: Pohland dan Harper, 1985
Kuantitas
dan kualitas air lindi juga dapat dipengaruhi oleh iklim. Infiltrasi air hujan
dapat membawa kontaminan dari tumpukan sampah dan memberikan kelembaban yang
dibutuhkan bagi proses penguraian biologis dalam pembentukan air lindi (Pohland
dan Harper, 1985). Meskipun sumber dari kelembabannya mungkin dibawa oleh
sampah masukkannya, tetapi sumber utama dari pembentukkan air lindi ini adalah
adanya infiltrasi air hujan. Jumlah hujan yang tinggi dan sifat timbunan yang
tidak solid akan mempercepat pembentukkan dan meningkatkan kuantitas air lindi
yang dihasilkan (Pohland dan Harper, 1985).
Pohland
dan Harper (1985) menyatakan bahwa umur tumpukan sampah juga bisa mempengaruhi
kualitas air lindi dan gas yang terbentuk. Perubahan kualitas air lindi dan gas
menjadi parameter utama dalam mengetahui tingkat stabilisasi tumpukan sampah.
3)
Parameter
kualitas air lindi (leachate)
1.
Parameter
fisika
a. Suhu
Suhu
suatu badan perairan dipengaruhi oleh musim, posisi lintang, ketinggian dari
permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran
serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika,
kimia dan biologi badan air (Effendi, 2003). Peningkatan suhu dapat
mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi.
Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air,
seperti O2, CO2, N2 dan sebagainya (Haslam 1995 in Effendi, 2003).
b. TSS (Total Suspended Solid )
Padatan
tersuspensi total (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1μm) yang
tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 μm (Effendi, 2003).
TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama
disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air.
2.
Parameter
Kimia
a. pH
Pescod
(1973) mengatakan bahwa nilai pH menunjukkan tinggi rendahnya konsentrasi ion
hidrogen dalam air. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion
hidrogen akan menunjukkan apakah perairan tersebut bersifat asam atau basa
(Barus, 2002). Selanjutnya beliau menambahkan bahwa nilai pH perairan dapat
berfluktuasi karena dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, respirasi
organisme akuatik, suhu dan keberadaan ion-ion di perairan tersebut. Menurut
Pohland dan Harper (1985) nilai pH air lindi pada tempat pembuangan sampah
perkotaan berkisar antara 1,5 – 9,5.
b. DO (Dissolved oxygen)
Oksigen
terlarut (dissolved oxygen) merupakan konsentrasi gas oksigen yang terlarut
dalam air. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesis oleh
fitoplankton atau tumbuhan air dan proses difusi dari udara (Fardiaz, 1992).
Faktor yang mempengaruhi jumlah oksigen terlarut di dalam air adalah jumlah
kehadiran bahan organik, suhu, aktivitas bakteri, kelarutan, fotosintesis dan
kontak dengan udara. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan
musiman tergantung pada percampuran (mixing) dan (turbulence) massa air,
aktivitas fotosintesis, respirasi, dan keadaan limbah yang masuk ke badan air,
sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan keberadaan unsur-unsur nutrien di
perairan (Wetzel, 2001).
c. BOD5 (Biochemical Oxygen
Demand )
Biochemical
Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
menguraikan bahan organik yang terdapat dalam air pada keadaan aerobik yang
diinkubasi pada suhu 20oC selama 5 hari, sehingga sering disebut BOD5
(APHA, 1989). Nilai BOD5 perairan dapat dipengaruhi oleh suhu, densitas
plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organic (Effendi,
2003). Nilai BOD5 ini juga digunakan untuk menduga jumlah bahan
organik di dalam air limbah yang dapat dioksidasi dan akan diuraikan oleh
mikroorganisme melalui proses biologi.
d. COD (Chemical Oxygen Demand )
COD
menyatakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan
organik yang terdapat di perairan, menjadi CO2 dan H2O
(Hariyadi, 2001). Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang yang dikonsumsi
setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel
(Boyd, 1982). Bila BOD memberikan gambaran jumlah bahan organic yang dapat
terurai secara biologis (bahan organik mudah urai, biodegradable organic
matter), maka COD memberikan gambaran jumlah total bahan organic yang mudah
urai maupun yang sulit terurai (non biodegradable) (Hariyadi, 2001).
Analisa
COD berbeda dengan analisa BOD5, namun perbandingan antara angka COD
dengan angka BOD5 dapat ditetapkan (Tabel 2.2 dan 2.3). Angka
perbandingan yang semakin rendah menunjukkan adanya zat-zat yang bersifat racun
dan berbahaya bagi mikroorganisme (Alaerts dan Santika, 1984).
Tabel 2.2.
Kategori kekuatan organik lindi
Kategori
kekuatan lindi
|
Kisaran
konsentrasi (mg/l)
|
|
COD
|
BOD5
|
|
Rendah
|
< 1.000
|
220 – 750
|
Sedang
|
1.000 – 10.000
|
750 – 1.500
|
Tinggi
|
> 10.000
|
1.500 – 36.000
|
Sumber : Pohland dan Harper, 1985
Tabel 2.3.
Perbandingan rata-rata angka BOD5/COD
untuk beberapa jenis air
Jenis
air
|
BOD5/COD
|
Air buangan domestik (penduduk)
|
0,40 – 0,60
|
Air buangan domestik setelah
pengendapan primer
|
0,60
|
Air buangan domestik setelah
pengolahan secara biologis
|
0,20
|
Air sungai
|
0,10
|
Sumber : Alaerts dan Santika,1984
Perairan
yang memiliki COD yang tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan
pertanian. Nilai COD pada perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l,
pada perairan tercemar bisa melebihi 200 mg/l dan bahkan pada limbah industri
bisa mencapai 60.000 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP 1992 in Effendi, 2003).
e. Amonia total
Amonia
pada perairan dihasilkan oleh proses dekomposisi, reduksi nitrat oleh bakteri,
kegiatan pemupukan dan ekskresi organisme yang ada di dalamnya (Boyd, 1982).
Amonia (NH3) yang disebut juga nitrogen amonia dihasilkan dari pembusukan
zat-zat organik oleh bakteri. Setiap amonia yang dibebaskan kesuatu lingkungan
akan membentuk reaksi keseimbangan dengan ion amonium (NH4+).
Amonium
ini yang kemudian mengalami proses nitrifikasi membentuk nitrit dan nitrat.
Amonia dalam keadaan tidak terdisosiasi akan lebih berbahaya untuk ikan
daripada dalam bentuk amonium (Pescod, 1973). Nilai amonia memiliki hubungan
dengan nilai pH perairan, yaitu makin tinggi pH air maka makin besar kandungan
amonia dalam bentuk tidak terdisosiasi (Wardoyo, 1975). Kadar amonia yang
tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran ba han organic yang berasal
dari limbah domestik, industri, dan limpasan pupuk pertanian (Effendi, 2003).
f. Nitrat
Nitrat
adalah bentuk nitrogen utama dalam perairan dan merupakan nutrien utama bagi
tumbuhan dan algae. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, dihasilkan
dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi, 2003).
Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di
perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrit dan
nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung dalam
kondisi aerob.
2
NH3 + 3 O2 Nitrosomonas 2 NO2- + 2 H+
+ 2 H2O
2
NO2- + O2
Nitrobacter 2 NO3-
Effendi
(2003) juga menyatakan bahwa kadar nitrat yang melebihi 5 mg/l menggambarkan
terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia
(pencucian dan pengolahan makanan) serta tinja hewan. Kadar nitratnitrogen yang
lebih dari 2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan yang
selanjutnya memacu pertumbuhan algae serta tumbuhan air lain menjadi pesat
(blooming).
g. Sulfat
Sulfat
adalah bentuk sulfur utama dalam perairan dan tanah. Di perairan yang
diperuntukkan bagi air minum sebaiknya tidak mengandung senyawa natrium sulfat
(Na2SO4) dan magnesium sulfat (MgSO4) (Hariyadi et al., 1992). Di perairan,
sulfur berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen. Reduksi (pengurangan oksigen
dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi hydrogen sulfida pada kondisi
anaerob dalam proses dekomposisi bahan organic menimbulkan bau yang kurang
sedap dan meningkatkan korosivitas logam (Effendi, 2003).
SO42-
+ bahan organik bakteri
S2- + H2O + CO2
S2-
+ 2 H+ anaerob H2S
Pada
perairan alami yang mendapat cukup aerasi biasanya tidak ditemukan H2S karena
telah teroksidasi menjadi sulfat. Kadar sulfat pada perairan tawar alami
berkisar antara 2 – 80 mg/liter. Kadar sulfat air minum sebaiknya tidak
melebihi 400 mg/liter (WHO, 1984 in Effendi, 2003).
h. Besi
Besi
adalah salah satu elemen kimiawi yang dapat ditemui pada hamper setiap tempat
di bumi, pada semua lapisan geologis dan semua badan air. Pada umumnya, besi
yang ada di dala m air dapat bersifat: (1) terlarut sebagai Fe 2+
(ferro) atau Fe3+ (ferri); (2) tersuspensi sebagai butiran koloidal
(diameter <1μm) atau lebih besar, seperti Fe2O3, FeO,
Fe(OH)3 dan sebagainya; (3) tergabung dengan zat organik atau zat
padat yang anorganik (Alaerts dan Santika, 1984). Besi dalam bentuk ferro
maupun ferri tergantung pada nilai pH dan kandungan oksigen terlarut (Welch,
1952). Pada pH normal dan terdapat oksigen yang cukup, kandungan besi ferro
yang terlarut akan dioksidasi menjadi ferri yang mudah terhidrolisa membentuk
endapan ferri hidroksida yang tidak larut dan mengendap di dasar perairan
sehingga membentuk warna kemerahan pada substrat dasar. Kadar besi yang tinggi
terdapat pada air yang berasal dari air tanah dalam yang bersuasana anaerob
atau dari lapisan dasar perairan yang sudah tidak mengandung oksigen (Wetzel,
2001).
Kadar
besi pada perairan alami berkisar antara 0,05 - 0,2 mg/l (Boyd, 1988 in
Effendi, 2003) pada air tanah dalam dengan kadar oksigen yang rendah kadar
besinya dapat mencapai 10 – 100 mg/l. Kadar besi > 1,0 mg/l dianggap
membahayakan kehidupan organisme akuatik (Moore, 1991). Sedangkan bagi perairan
yang diperuntukkan bagi keperluan pertanian sebaiknya memiliki kadar besi yang
tidak lebih dari 20 mg/liter (McNeely et al, 1979 in Effendi, 2003).
3. Parameter mikrobiologi
Alaerts
dan Santika (1984) menyatakan bahwa bakteri yang sering digunakan sebagai
indikator untuk menilai kualitas perairan adalah bakteri koliform, fecal
koliform, dan fecal streptococcus. Bakteri koliform merupakan bakteri yang
berasal dari tinja manusia, hewan berdarah panas, hewan berdarah dingin, dan dari
tanah. Bakteri koliform mudah dideteksi, sehingga jika bakteri tersebut ditemui
dalam sampel air berarti air tersebut tercemar oleh tinja dan kemungkinan besar
perairan tersebut mengandung bakteri patogen. Menurut Peraturan Pemerintah No.
82 tahun 2001, kadar maksimum total koliform yang diperbolehkan pada perairan
umum yang diperuntukkan untuk mengairi pertanaman dan peternakan sebesar 10.000
MPN/100ml.
B.
Dampak
Air Lindi Terhadap Lingkungan
Secara umum Rembesan
lindi yang sudah mencapai lebih dari 400 m dari pusat timbunan sampah
menunjukkan betapa cepatnya lindi tersebut mencemari lingkungan TPA . Bisa
dibayangkan kalau Pemerintah dan Instansi terkait tidak tanggap atas dampak
yang telah ditimbulkan oleh adanya TPA yang masih menerapkan sistem open
dumping, maka sudah barang tentu akan berdampak negatif terhadap lingkungan
baik terhadap sifat fisik-kimia-biologis maupun berdampak pada kesehatan
masyarakat khususnya yang bermukim di sekitar TPA. Pengaruh pencemaran lindi
terhadap lingkungan disekitar TPA antara lain dapat berpengaruh pada perubahan
sifat fisik air, suhu air, rasa, bau dan kekeruhan. Suhu limbah yang berasal
dari lindi umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan air yang tidak tercemar
lindi. Hal ini dapat mempercepat reaksi kimia dalam air, mengurangi kelarutan
oksigen dalam air, mempercepat pengaruh rasa dan bau.
Terkontaminasinya
sumber air tanah dangkal oleh zat-zat kimia yang terkandung dalam lindi seperti
misalnya nitrit, nitrat, ammonia, kalsium, kalium, magnesium, kesadahan,
klorida, sulfat, BOD, COD, pH yang konsentrasinya sangat tinggi akan
menyebabkan terganggunya kehidupan makhluk hidup disekitar TPA. Disamping itu
pula tercemarnya air bawah permukaan yang diakibatkan oleh lindi berengaruh
terhadap kesehatan penduduk terutama bagi penduduk yang bermukim di sekitar
TPA. Lindi yang semakin lama semakin banyak volumenya akan merembes masuk ke
dalam tanah yang nantinya akan menyebabkan terkontaminasinya air bawah
permukaan yang pada akhirnya akan menyebabkan tercemarnya sumur-sumur dangkal
yang dimaanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber air minum.
Adanya TPA yang tidak
jauh dari kali/sungai, harus diwaspadai adanya pencemaran oleh lindi. Sungai
tersebut mengalir dan masih dimanfaatkan oleh sebagian penduduk untuk keperluan
sehari-hari seperti mandi dan mencuci. Jika sungai
ini tercemar oleh adanya rembesan lindi maka akan berdampak negatif bagi
penduduk yang yang masih memanfaatkan air sungai tersebut, baik penduduk yang
berada di sekitar TPA maupun penduduk yang berada di hilir disepanjang sungai.
Adanya rembesan lindi yang telah mencemari lingkungan disekitar TPA berarti
melanggar pasal 29 ayat 1 point f Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang
pelarangan pembuangan sampah dengan sistem open dumping. Disamping itu juga
telah melanggar Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
C.
Penanggulangan
Air Lindi
1)
Pelapis
Dasar (Liner)
Pada
sebuah lahan urug yang baik biasanya dibutuhkan sistem pelapis dasar, yang
bersasaran mengurangi mobilitas lindi ke dalam air tanah. Sebuah liner yang
efektif akan mencegah migrasi cemaran ke lingkungan, khususnya ke dalam air
tanah. Namun pada kenyataannya belum didapat sistem liner yang efektif 100%.
Karena timbulan lindi tidak terelakkan, maka di samping sistem liner dibutuhkan
sistem pengumpulan lindi. Oleh karenanya, dasar sebuah lahan urug akan terdiri
dari :
- Lapisan-lapisan bahan liner untuk mencegah migrasi cemaran ke luar lahan urug
- Sistem pengumpulan lindi.
Sistem
pelapis tersebut dapat berupa bahan alami (seperti : tanah liat, bentonite)
maupun sintetis. Penggunaan bahan liner tersebut bisa secara tunggal maupun
kombinasi antara keduanya yang dikenal sebagai geokomposit, tergantung fungsi
yang dibutuhkan. Formasi lapisan dan jenis bahan liner ini bermacam-macam
tergantung pada karakteristik buangan padat yang ditimbun. Untuk jenis sampah
kota, Bagchi merekomendasikan cukup mengaplikasikan sistem singled liner
dengan jenis bahan liner berupa clay.
Pelapis
dasar yang dianjurkan adalah dengan geosintetis atau dikenal sebagai flexible
membrane liner (FML). Jenis geosintetis yang biasa digunakan sebagai
pelapis dasar adalah:
1. Geotextile
sebagai filter
2. Geonet
sebagai sarana drainase
3. Geomembrane
dan geokomposit sebagai lapisan penghalang.
Untuk landfill
sampah kota di Indonesia perlu dipertimbangkan hal-hal seperti :
1. Lahan
urug biasanya terletak di luar kota, dan kadangkala berdekatan dengan perumahan
penduduk yang belum terjangkau oleh sistem pelayanan air minum yang layak
(seperti PDAM), sehingga masalah pencemaran lindi perlu dipertimbangkan
2. Intensitas
hujan di Indonesia cukup tinggi.
2)
Saluran
Pengumpul Lindi
Sistem pengumpul lindi yang umum digunakan adalah :
1.
Menggunakan pipa berlubang yang ditempatkan dalam
saluran, kemudian diselubungi batuan. Cara ini paling banyak digunakan pada landfill
2.
Membuat saluran kemudian saluran tersebut diberi
pelapis dan di dalamnya disusun batu kali kosong.
Fasilitas-fasilitas
pengumpulan lindi dengan menggunakan pipa secara umum adalah sebagai berikut
:
1.
Slope teras
Untuk mencegah
akumulasi lindi di dasar suatu lahan urug, dasar lahan urug ditata menjadi
susunan teras-teras dengan kemiringan tertentu (1-5%) sehingga lindi akan
mengalir ke saluran pengumpul (0,5-1%). Untuk mengalirkan lindi ke unit
pengolahan atau resirkulasi setiap saluran pengumpul dilengkapi dengan pipa
berlubang. Kemiringan dan panjang maksimum saluran pengumpul dirancang
berdasarkan kapasitas fasilitas saluran pengumpul. Untuk memperkirakan
kapasitas fasilitas saluran pengumpul dipergunakan persamaan Manning.
2.
Piped Bottom
Dasar lahan urug
dibagi menjadi beberapa persegi panjang yang dipisahkan oleh pemisah tanah
liat. Lebar pemisah tersebut tergantung dari lebar sel. Pipa-pipa
pengumpul lindi ditempatkan sejajar dengan panjang sel dan diletakkan langsung
pada geomembrane.
3)
Penutup
Akhir
Beberapa fungsi dari
sistem penutup akhir tersebut adalah :
- Meminimasi infiltrasi air hujan ke dalam tumpukan sampah setelah lahan urug selesai dipakai
- Mengontrol emisi gas dari lahan urug ke lingkungan
- Mengontrol binatang dan vektor-vektor penyakit yang dapat menyebabkan penyakit pada ekosistem
- Mengurangi resiko kebakaran
- Menyediakan permukaan yang cocok untuk berbagai kegunaan setelah lahan urug selesai digunakan, seperti untuk taman rekreasi dan lain-lain
- Elemen utama dalam reklamasi lahan
- Mencegah kemungkinan erosi
- Memperbaiki tampilan lahan urug dari segi estetika.
Sistem
penutup akhir lahan urug terdiri dari beberapa bagian. Bagian atas biasanya
beberapa tanah yang berfungsi sebagai pelindung dan media pendukung tanaman (top
soil). Apabila tanah yang terdapat di lokasi tidak memenuhi persyaratan
maka diperlukan perbaikan. Perbaikan ini dilakukan dengan cara mencampur atau
mengganti tanah tersebut dengan tanah dari lokasi lain. Tebal lapisan top
soil ini adalah 60 cm.
Lapisan
di bawah top soil berfungsi sebagai sistem drainase. Lapisan ini
menyalurkan sebanyak mungkin presipitasi yang masuk sehingga tidak mengalir ke
lapisan di bawahnya. Materi yang biasa digunakan berupa materi berpori,
seperti: pasir, kerikil, dan bahan sintetis, seperti geonet. Tebal lapisan ini
sekitar 30 cm.
Berikutnya
adalah lapisan penahan. Materi yang biasa digunakan adalah geokomposit (geomembrane
dan tanah liat yang dipadatkan). Ketebalan geomembrane yang dianjurkan adalah
lebih besar dari 2,5 mm, sedangkan untuk tanah liat adalah lebih besar dari 50
cm.
Di
bawah lapisan penahan terdapat lapisan sistem ventilasi gas. Sistem ini mutlak
diperlukan untuk sampah kota, karena sebagian besar sampah tersebut merupakan
bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis. Dalam kondisi aerob, gas
yang dihasilkan sebagian besar berupa karbon dioksida dan methan; oleh karena
itu pemanfaatan gas bio tersebut dapat dijadikan suatu alternatif sumber
energi.
Lapisan
sistem ventilasi gas terdiri dari media berpori seperti pasir/kerikil atau
berupa sistem perpipaan. Lapisan terbawah dari sistem penutup akhir adalah lapisan
subgrade. Lapisan ini dibutuhkan untuk meningkatkan kestabilan permukaan lahan
urug. Selain itu lapisan ini membantu pembentukan kemiringan yang diinginkan
guna mempercepat drainase lateral dan mengurangi tinggi hidrolis. Ketebalan
lapisan ini biasanya 30 cm.
Selain
sistem penutup akhir tersebut, untuk mengurangi limpasan air yang masuk ke
dalam lahan urug, dilakukan pengaturan kemiringan, juga dilengkapi dengan
drainase permukaan dan penanaman tanaman.
4)
Pengolahan
Lindi
Dari
segi komponen, kandungan pada lindi tidak berbeda dengan air buangan domestik.
Namun zat organik yang terkandung pada lindi dari timbunan sampah domestik
sangat tinggi konsentrasinya. Hal ini ditunjukkan dari sangat tingginya kadar
BOD5 pada lindi yaitu sekitar 2.000-30.000. Sistem pengolahan lindi
dibagi menjadi dua tingkat, yaitu pengolahan sekunder dan pengolahan tersier.
Untuk
pengolahan sekunder akan diuraikan gambaran singkat tentang unit kolam
stabilisasi (fakultatif dan anaerob) dan kolam aerasi. Adapun pengolahan
tersier akan diuraikan gambaran singkat tentang land treatment dan intermitten
sand filter.